PROMO SANDISK :

PROMO SANDISK :
Flash Drive Android

Harga HP

Rabu, 05 Agustus 2015

[InfoKomputer Online] Daily Posts newsletter for Fitur

Surel tidak tampil sebagaimana mestinya? Jika ya, coba klik tautan ini

InfoKomputer Online

Enterprise, Bisnis, Teknologi, Solusi

Para peserta Sesparlu yang terdiri dari para diplomat terseleksi di lingkungan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI.

Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia sempat memanas beberapa waktu lalu. Penyebabnya adalah hukuman mati yang dijatuhkan pemerintah Indonesia bagi warga negara Australia yang menjadi anggota sindikat narkotika Bali Nine.

Tidak hanya ramai di antara para pejabat tinggi, adu pendapat antara warga kedua negara pun terlihat di media sosial. Pengguna Twitter asal Negeri Kanguru sempat mengajak untuk memboikot Pulau Bali dari tujuan wisata melalui tagar (hashtag) #BoycottBali. Tapi, tagar ini malah menjadi bumerang karena digunakan pula oleh pengguna Twitter asal Indonesia, khususnya warga Bali, yang malah menyambut baik niat boikot itu. Turis Australia dipandang sebagai wisatawan yang kurang bersopan santun dan sering mengganggu ketenteraman penduduk lokal.

Usai di tagar #BoycottBali, perseteruan episode kedua di media sosial muncul kembali dengan tagar #KoinUntukAustralia. Hal ini disebabkan oleh pernyataan PM Australia Tony Abbott yang mengungkit-ungkit soal bantuan Australia terhadap Indonesia ketika bencana tsunami Aceh dalam upaya meminta keringanan hukuman bagi dua terpidana mati asal negaranya. Tagar #KoinUntukAustralia dimaksudkan sebagai ajakan bagi masyarakat Indonesia untuk mengumpulkan koin demi mengembalikan dana bantuan Australia itu.

Kasus di atas memperlihatkan kepada kita begitu cepatnya perkembangan opini di media sosial. Warga negara tidak perlu waktu lama untuk mengungkapkan pendapatnya terhadap suatu topik, bahkan yang berkaitan dengan hubungan bilateral antara negaranya dan negara lain.

Bagaimanapun juga, sentimen masyarakat di media sosial ini tetap tidak bisa dianggap sebagai sikap resmi negara yang bersangkutan. Tapi, sentimen ini sudah saatnya ditanggapi secara cepat oleh pejabat tinggi dan diplomat Indonesia. Terutama jika sentimen yang muncul ternyata cenderung membahayakan hubungan antarnegara, pemerintah dapat segera mengambil langkah untuk meredamnya.

Masalahnya, masih banyak pejabat tinggi di tanah air yang belum paham mengenai pentingnya media sosial sebagai alat modern untuk membentuk dan menyebarkan pengaruh alias berdiplomasi. Atas dasar itulah, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia mengambil inisiatif untuk mendidik para diplomat seniornya tentang media sosial.

Odo Manuhutu (paling tinggi, tengah) bersama para peserta Sesparlu angkatan ke-52.

Materi Pelatihan Media Sosial

Topik soal media sosial ini untuk pertama kalinya dimasukkan sebagai materi ajar dalam Sesparlu (Sekolah Staf dan Pimpinan Kementerian Luar Negeri), program diklat bagi diplomat senior yang diadakan dua kali setahun.

Sesparlu yang digelar pada periode Februari – Mei 2015 lalu merupakan angkatan ke-52. Ada empat belas peserta di angkatan ini yang terdiri dari para diplomat dengan pengalaman kerja minimal 15–20 tahun. Mereka adalah hasil seleksi yang memenuhi kriteria antara lain lulus tes TOEFL dengan nilai minimal 550, tes tertulis, serta tes wawancara dengan duta besar.

"Tujuan Kemlu mengadakan diklat ini yaitu mempersiapkan mereka sebagai calon pemimpin. Harapannya, dalam beberapa tahun ke depan, mereka akan menduduki posisi kunci di eselon II. Mungkin ada yang menjadi konsulat jenderal atau bahkan duta besar," ujar Odo Manuhutu (Direktur Sesparlu, Kemlu RI).

Salah satu fokus dalam Sesparlu adalah melatih kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun tertulis. Dalam berkomunikasi lisan, para peserta bakal dilatih public speaking. Sedangkan untuk komunikasi tertulis, alat utama yang digunakan yakni media sosial. Setiap peserta Sesparlu diwajibkan membuat akun Twitter, Facebook, LinkedIn, Tumblr, WordPress, dan Bit.ly. Akun-akun ini mesti aktif mereka gunakan sepanjang program pelatihan berlangsung. Agenda pelatihan pun dapat diakses publik di laman sesparlu.tumblr.com.

Tugas harian para peserta Sesparlu adalah tweeting. Secara bergiliran, ada satu atau dua orang yang diwajibkan untuk menuliskan "kultwit" (kuliah di Twitter), yaitu rangkaian 5–10 tweet tentang materi sesi pelatihan yang diperoleh setiap hari. Kultwit ini bisa dipantau oleh publik melalui tagar #Sesparlu, #Sesparlu52, atau langsung mengikuti akun @Sesparlu. Kemudian, ada lagi tugas mingguan bagi peserta untuk membuat tulisan di blog masing-masing dengan tema yang telah ditentukan. Tugas ini sebetulnya mirip metode membuat essay. Bedanya, hasil tulisan tidak usah diserahkan kepada panitia, tapi langsung dipublikasikan di blog.

"Dari tulisan para peserta itu, kami bisa mengetahui apakah mereka paham atau tidak mengenai materi pelatihan. Kami juga bisa mengukur kecapakan mereka di media sosial. Selain itu, aktivitas di media sosial ini merupakan wujud public diplomation, public accountability, serta knowledge sharing kepada masyarakat," kata Odo.

Pada penghujung program pelatihan, setiap peserta harus membuat policy recommendation (rekomendasi kebijakan) yang terkait dengan tiga prioritas utama di Kemlu yang sejalan dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo, yaitu kedaulatan perbatasan, diplomasi ekonomi, dan perlindungan WNI di luar negeri.

Kewajiban lainnya adalah mempromosikan tentang daya tarik objek wisata Wakatobi di Sulawesi Selatan. Prosesnya, para peserta diajak berkunjung ke Wakatobi bersama sejumlah diplomat asing. Kemudian, mereka harus menyebarkan informasi soal keindahan alam di sana dengan menggunakan media sosial, misalnya memperkaya artikel di Wikipedia dan menulis review di TripAdvisor.

"Kalau dulu untuk promosi tempat wisata, kita harus bikin video, direkam ke DVD, lalu dikirim ke perwakilan-perwakilan negara asing. Sekarang dunia berubah, kita harus bisa adaptasi. Pasang saja videonya di YouTube, lalu sebarkan lewat Google Ads," tukas Odo.

Respons cepat Menlu Retno Marsudi terhadap insiden Charlie Hebdo.

Tanggap dalam Enam Menit

Inisiatif memasukkan materi media sosial ke dalam Sesparlu merupakan respons terhadap permintaan Menlu Retno Marsudi. Odo mengungkapkan bahwa salah satu arahan beliau adalah kecepatan Kemlu dalam menanggapi masalah-masalah yang berhubungan dengan politik luar negeri. Menlu Retno meminta, masalah internasional apa pun bisa dijawab dalam enam menit melalui akun Twitter resmi @Portal_Kemlu_RI.

Bukti nyata dapat dilihat ketika kasus penyerangan terhadap kantor redaksi majalah Charlie Hebdo di Perancis yang terjadi pada 7 Januari 2015. Saat itu, Twitter diramaikan dengan tagar #JeSuisCharlie yang melambangkan simpati dan duka cita terhadap korban jiwa yang jatuh.

Sembilan hari berselang, para tokoh dan pemimpin dunia mulai menyatakan sikap atas insiden Charlie Hebdo. Menlu Retno juga ikut membuat pernyataan lewat akun Twitter Kemlu yang membuat masyarakat segera mengetahui posisi dan sikap pemerintah Indonesia dalam kasus ini. Intinya adalah Indonesia menghormati keberagaman, kebebasan berekspresi bersifat bukan tanpa batas, dan mendorong kerja sama internasional untuk meningkatkan toleransi antaragama.

"Dulu kita harus membuat press release dalam dua atau tiga hari. Sekarang harus membuat pernyataan dalam hitungan menit," Odo membandingkan. "Nggak gampang lho, karena Ibu Menlu harus mengumpulkan masukan dari para pejabat tinggi, mengoordinasikan orang, dan menentukan sikap dalam waktu kurang dari enam menit," sambungnya.

Saat ini, Indonesia memunyai 132 kantor Kedutaan Besar dan Konsulat Jenderal di seluruh dunia. Ketika dicek, masih sedikit yang memiliki akun di media sosial. Begitu pula dengan para duta besar dan diplomat. Menurut Odo, sejauh ini memang belum ada kebijakan spesifik mengenai media sosial untuk kepentingan diplomasi di Kemlu. Peraturannya baru ada dalam bentuk kode etik yang dirilis oleh Kemenpan-RB dan berlaku umum untuk semua kementerian. "Tapi, sudah ada imbauan dari Ibu Menlu untuk aktif di Twitter," imbuh Odo.

Tantangannya adalah mengubah mindset dari para pejabat publik ini, khususnya yang sudah senior. Mereka harus disadarkan mengenai pentingnya media sosial untuk melihat opini publik tentang isu internasional yang berkembang, menyebarkan informasi yang berkaitan dengan kebijakan politik dan kewarganegaraan, serta menemukan masalah-masalah yang dialami WNI di luar negeri.

Posted in Featured, Fitur | Tagged , , , , , , , , , | Comments Off on Kementerian Luar Negeri RI Mendidik Diplomat Aktif di Media Sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...