Info Gadget Terbaru Dari Tech In Asia |
Mark Zuckerberg Tak Berniat Mengendalikan Dunia dengan VR, Ia Justru Ingin Membuatnya Lebih Baik Posted: 29 Feb 2016 08:00 PM PST Beberapa waktu yang lalu, jagat maya sempat gempar setelah Mark Zuckerberg mengunggah gambar dirinya yang sedang berjalan di antara pengunjung (MWC) 2016. Ribuan pengunjung yang saat itu tengah mengenakan headset Samsung Gear VR tak sadar bahwa salah satu tokoh paling dikenal di kancah teknologi dengan santainya berjalan melewati mereka. Mark memang menjadi kejutan yang disiapkan oleh Samsung dalam acara peresmian duo smartphone Galaxy S7 dan S7 Edge. Beberapa netizen memberi foto itu judul "penguasa baru kita tengah mengarak pasukan VR-nya."
Netizen lain menyebutnya sebagai "serpihan gambar dari masa depan distopia kita."
Tak lama kemudian, muncul referensi novel karya George Orwell, iklan Superbowl Apple yang ikonis, dan film The Matrix . Bahkan, The Washington Post ikut mengamini lewat secuil artikel yang mereka tulis:
Saya benci mengatakan hal ini kepada kalian, netizen, namun asumsi kalian keliru. Baca juga: Teknologi Virtual vs Interaksi Manusia Jika kamu tak suka VR, perangkat yang menurut kamu absurd, atau kamu tak suka kalau mereka menciptakan realitas alternatif, kamu bisa memilih untuk tidak membeli atau mengenakannya. Jangan mencela apa yang orang lain lakukan hanya karena cara pandang mereka terhadap adaptasi teknologi berbeda dengan kamu. Jangan berpikir bahwa foto Mark yang sedang mengulas senyum ini menunjukkan kalau ia memiliki tujuan tertentu. Mohon hentikan omong kosong soal memata-mataiPemerintah tak akan memaksa kamu untuk mengenakan headset VR sebagai bagian dari rutinitas harian kamu. Dan belum tentu juga mereka bakal memata-matai apa yang kamu lihat lewat headset VR. Lagipula, kita hidup di zaman "pasca-Snowden." Masyarakat zaman sekarang jauh lebih sadar dari sebelumnya akan hak-hak mereka. Secara serempak mereka tak ragu untuk menyuarakan kegelisahan mereka kepada konglomerat teknologi, ataupun pemerintah, jika terjadi hal-hal yang ganjil. Apple yang bersikukuh tak mau membocorkan data penggunanya ke FBI, juga dukungan Google terhadap langkah Apple, seharusnya membuat kamu sadar seperti apa komitmen perusahaan teknologi menjaga privasi penggunanya. Betapa konyolnya jika kita mengolok-olok suatu teknologi hanya karena teknologi tersebut belum terlihat manfaatnya saat ini. Teknologi VR belum mulai menunjukkan potensinya kepada kita semua. Bahkan, perangkat VR generasi pertama belum mulai dikirimkan secara massal. Ya, perangkat ini tampak sedikit lebih besar dari gadget yang biasa kita gunakan sehari-hari. Namun, apakah itu artinya kita bisa menilai perangkat ini hanya dari bentuknya saja? Tentu tidak. Untuk menyegarkan ingatan kita, di bawah ini adalah iPhone generasi pertama: Dan komputer generasi awal bentuknya seperti ini: Beri mereka waktu untuk mengembangkannya. Ketika semakin banyak investasi dikucurkan untuk ristek VR, saya yakin nantinya tampilan perangkat ini akan jauh lebih baik. Namun tentu, fenomena ini bukan peristiwa baru. Manusia adalah makhluk yang keras kepala dan takut akan perubahan. Semua hal, mulai dari kereta api, televisi, bahkan Wi-Fi, awalnya juga mendapat cercaan dari masyarakat. Mereka yang menyemai benih ketakutan hanya akan hidup dalam ketidakpastian. Bahkan, ada istilah khusus bagi orang-orang seperti itu: technophobia. Baca juga: Virtual Reality sebagai Metode Marketing, Ampuhkah? Kamu menyebutnya distopia, saya menyebutnya inovasiApakah VR, atau setidaknya masa depan yang dibawa VR, akan membawa kita ke masa depan distopia? Apa kita punya kapasitas untuk untuk memprediksi akan seperti apa masa depan ini nantinya? Akhir-akhir ini bermunculan debat yang mempersoalkan bahwa VR hanya akan menjadi platform gaming yang unik dan tak akan menjadi gadget yang berguna di bidang lain. Namun saya pribadi merasa bahwa masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan. Seperti yang Mark tulis sendiri setelah ia resmi mengambil alih Oculus Rift dengan nilai $2 miliar (sekitar Rp27 triliun), VR akan benar-benar menjadikan dunia lebih terbuka dan terhubung. Aplikasi terbaiknya saat ini mungkin cuma peralatan gaming yang terintegrasi, namun jelas masih ada banyak hal yang bisa digali, dikembangkan, serta ditingkatkan dari teknologi ini. Beberapa tahun yang lalu, situs Wired juga telah merangkum dengan baik bagaimana kelanjutan teknologi VR ini, tepatnya sebelum Facebook mengumumkan rencana pembelian Oculus. Manfaat dasar yang dihadirkan oleh VR ke dalam bidang pendidikan, media, layanan kesehatan, dan jejaring sosial lebih besar dari yang bisa kita bayangkan saat ini. Hal itu disebabkan karena kita belum melihat penerapannya secara langsung, dan pikiran kita tak mampu menerima hal yang biasanya tidak eksis. Namun, kenapa kita harus takut menyongsong masa depan ketika inovasi teknologi di masa lalu telah membuat hidup kita jadi jauh lebih baik? Jika kamu kembali ke tahun 2000 dan mengatakan kepada seseorang bahwa sebuah perusahaan akan "menyebarkan" internet menggunakan balon udara—sebagai bentuk upaya pemerataan akses internet, orang tersebut mungkin akan menertawakanmu. Lalu, jika kemudian kamu mengatakan bahwa CEO dari perusahaan pesaing MySpace akan memiliki kekayaan senilai hampir $50 miliar (sekitar Rp675 triliun), maka mereka pasti mengira kalau kamu sedang mabuk. Namun, begitulah yang namanya teknologi. Ada alasan kenapa suatu teknologi disebut bersifat disruptive atau mengganggu. Segala hal—mulai dari jual beli, edukasi, bahkan pemakaian media serta periklanan—telah benar-benar mendapat pengaruh positif oleh internet. Apa kita ingin kembali ke masa lalu? Ketika tak ada media sosial, sulit mendapatkan akses ke informasi, atau tak mungkin berhubungan dengan mereka yang berada daerah paling terpencil di dunia? Saya pribadi lebih kemudahan-kemudahan yang ditawarkan teknologi saat ini. VR berpotensi mengubah industri, seperti apa yang dilakukan oleh internet. Dan kemungkinan-kemungkinan seperti itulah yang membuat saya antusias. Baca juga: Kumpulan Perangkat VR dari Masa Lalu yang Mungkin Kamu Lewatkan Maaf, ini bukan tren sesaatThe Washington Post mengkritisi rencana Mark menjadikan VR sebagai platform sosial. Mereka menyebutnya sebagai "perangkat individu yang hanya akan menjadi tren sesaat." Saya tak sependapat. VR akan digunakan oleh dua orang sahabat yang terpisah jarak dan waktu, orang tua yang rindu bercengkerama dengan anak-anak mereka di luar negeri, atau perusahaan multinasional yang ingin melakukan rapat dengan tim di seluruh dunia. Teknologi ini akan berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi, menekan biaya yang harus dikeluarkan untuk "bertemu" dengan seseorang, juga bisa memberikan sarana hiburan alternatif. Kita sudah sering berkomunikasi dengan teman dan kerabat menggunakan aplikasi seperti Facebook dan WhatsApp. Kenapa kita tidak buat pengalaman tersebut menjadi lebih baik lagi dengan menggunakan VR? Sehingga, pendapat yang mengatakan bahwa orang seperti Mark akan "mengendalikan dunia nyata" adalah penghinaan terhadap kecerdasan manusia. Perusahaan seperti Apple mungkin punya aturan tersendiri mengenai konten seperti apa yang dapat berkeliaran di AppStore, namun sebenarnya konsumen lah menentukan konten mana yang mereka mau konsumsi dan mana yang tidak berguna buat mereka. Mengutip pernyataan Mark, VR tadinya hanya imajinasi fiksi ilmiah. Namun, internet pun dulunya hanya angan-angan semata, sama halnya dengan komputer maupun smartphone. Kamu boleh saja menganggap teknologi VR ini menyeramkan. Namun, selama ribuan tahun manusia hidup, fakta menunjukkan bahwa mengendalikan seluruh umat manusia tak semudah itu. Kita, sebagai umat manusia, lebih banyak mendapatkan manfaat dari teknologi, alih-alih memperoleh dampak buruknya. Sehingga kita harus tetap optimis kalau teknologi akan terus memberi kita manfaat positif. Baca juga: Tahun 2015 Segera Berakhir, Bagaimana Kelanjutan Teknologi Virtual Reality? (Diterjemahkan oleh Faisal Bosnia Ahmad dan diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah) The post Mark Zuckerberg Tak Berniat Mengendalikan Dunia dengan VR, Ia Justru Ingin Membuatnya Lebih Baik appeared first on Tech in Asia Indonesia. | ||||||||||||||||||||
[HANDS-ON] Infinix Zero 3, Smartphone Flagship Bermodal Kamera Megapiksel Besar Posted: 29 Feb 2016 06:33 PM PST Salah satu fitur yang kerap dijadikan patokan untuk mengukur performa smartphone adalah kualitas kamera. Vendor asal Hong Kong kembali melanjutkan invasi ke tanah air lewat Infinix Zero 3 yang dirilis pada Senin (29/2). Bila melihat namanya, jelas smartphone ini merupakan versi pembaruan dari Zero 2 yang hadir bulan Agustus lalu. Satu hal yang menggelitik dari Zero 3 adalah penggunaan kamera berkekuatan 20,7 MP. Bila kamu merasa megapiksel bukan lagi hal yang perlu diperhatikan saat meminang smartphone, Zero 3 mengusung sensor CMOS IMX230 milik Sony. Hal ini tentu saja membuat saya makin tergelitik mengetahui "kesaktian" smartphone ini lebih lanjut. Tenang, Tech in Asia akan membuat review lengkap Zero 3 di kesempatan mendatang. Namun kali ini simak dulu hands-on saya, berikut ini. 5 menit pertama…Bodi Zero 3 masih menggunakan bahan plastik. Meski begitu, desain keseluruhannya solid dan tidak mencerminkan kesan murahan. Hal yang tidak aneh karena Infinix cenderung bermain di kelas harga Rp1 hingga 3 jutaan. Perangkat ini dibanderol dengan harga Rp2,6 juta, jadi rasanya wajar bila desainnya elegan. Minimalis
Spesifikasi lengkap dari Zero 3 bisa kamu lihat pada tabel di atas.Dengan prosesor Helio X10 2,0 GHz, smartphone ini akan bersaing dengan Xiaomi Redmi Note 3 dan HTC One M9. RAM yang dibenamkan masih sama dengan pendahulunya, 3 GB, dan sistem operasi Android Lollipop 5.1 yang dilapis XUI. Pihak Infinix sendiri telah mempersiapkan update ke Marshmallow yang bisa dilakukan secara OTA (over the air). Lo, apakah ini akan menguras kinerja Zero 3? Tentu jawaban pertanyaan ini memerlukan pengujian lanjutan. Namun dari sekilas yang saya lihat, mereka menggunakan tampilan yang nyaris sama saja dengan stock ROM seperti pada Nexus dan Android One. Semoga saja ini pertanda kinerja yang tidak haus RAM. Baterai Zero 3 berkapasitas 3.030 mAh. Tidak istimewa memang, tetapi pihak Infinix mengklaim bila mereka telah mengintegrasikan teknologi fast charging. Namun ini berarti kamu harus membawa charger asli perangkat ini saat bepergian. Mempersengit persaingan di ranah smartphone kelas menengah?Banderol kurang dari Rp3 juta memang menggelitik. Banyak vendor yang berkompetisi di ranah ini. Namun perlu dicatat juga proses TKDN dari Zero 3 masih dalam proses, meski pihak Infinix sudah menggandeng Haier sebagai partner untuk perakitan. Ini berarti sampai prosesnya selesai, kamu belum bisa menikmati 4G di Zero 3. The post [HANDS-ON] Infinix Zero 3, Smartphone Flagship Bermodal Kamera Megapiksel Besar appeared first on Tech in Asia Indonesia. |
You are subscribed to email updates from Gadget – Tech in Asia Indonesia. To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar